BULAN sebesar semangka tersepuh perak,
tergantung di langit kota, dini hari. Cahayanya yang lembut, tipis berselaput
kabut, menerpa lima sosok patung pahlawan yang berdiri di atas Monumen Joang
yang tak terawat dan menjadi sarang gelandangan. Cahaya bulan itu seperti
memberi tenaga kepada mereka untuk bergerak-gerak, dari posisi mereka yang
berdiri tegak. Mereka seperti mencuri kesempatan dari genggaman warga kota yang
terlelap dirajam kantuk dalam ringkus selimut.Lima patung yang terdiri dari
tiga lelaki dan dua perempuan itu, menggoyang-goyangkan kaki, menggerakkan tangan,
kemudian duduk dan bahkan ada yang tiduran. Mungkin, mereka sangat letih karena
selama lebih dari empat puluh tahun berdiri di situ. Wajah mereka yang kaku,
dengan lipatan-lipatan cor semen yang beku pun kerap bergerak-gerak seperti
orang mengaduh, mengeluh, menjerit dan berteriak. Tentu, hanya telinga setajam
kesunyian yang mampu mendengarnya."Dulu, ketika jasad kita terbujur di
sini, kota ini sangat sunyi. Hanya beberapa lampu berpendar bagai belasan
kunang-kunang yang membangunkan malam. Kini, puluhan bahkan ratusan lampu,
bependar-pendar seterang siang. Negeri ini benar-benar megah," ujar patung
lelaki yang dikenal dengan nama Wibagso sambil mengayun-ayunkan
senapannya."Tapi lihatlah di sana, Bung Wibagso. Kumpulan gelandangan
tumpang-tindih bagi jutaan cendol sedang makan bangkai anjing dengan lahap. Dan
di sana, lihatlah deretan gubug-gubug reyot menyatu dengan gelandangan yang
berjejal bagai benalu menempel di tembok gedung-gedung. Mulut mereka menganga
menyemburkan abab bacin serupa aroma mayat, mengundang jutaan lalat terjebak di
dalamnya. Ya, Tuhan, mereka mengunyah lalat-lalat itu..." desis patung
lelaki bernama Durmo.Ratri, patung perempuan yang dulu dikenal sebagai
mata-mata kaum gerilyawan, menukas, "Itu biasa rekan Durmo. Dalam negeri
yang gemerlap, selalu dirawat kemiskinan sebagai ilham bagi kemajuan. Kita
mesti bangga, negeri ini sangat kaya. Lihatlah di sana deretan rumah mewah
menyimpan jutaan keluarga bahagia. Ada mobil-mobil mewah, ada lapangan golf
pribadi, bahkan ada pesawat terbang pribadi... Dan lihatlah di sana,
orang-orang berdansa-dansi sampai pagi. Yaaa... ampun malah ada yang
orgi..."Patung Sidik, yang sejak tadi menyidik dunia sekitar dengan mata
nanar melenguh bagai sapi di ruang jagal, "Ternyata mereka hanya sanggup
mengurus perut dan kelamin mereka sendiri. Aku jadi menyesal, kenapa dulu ikut
memerdekakan negeri ini.""Aku pun jadi tidak lagi pede sebagai
pahlawan," timpal Durmo, "Kita bediri di sini tak lebih dari hantu
sawah. Ternyata mereka tak sungkan apalagi hormat kepada kita. Buktinya, mereka
menggaruk apa saja.""Kamu jangan terlalu sentimentil. Aku rasa mereka
tetap hormat kepada kita. Buktinya, mereka membangunkan kita monumen yang
megah," tukas Wibagso.Tapi kenapa kita hanya diletakkan di sini, di tempat
njepit ini. Mosok monumen pahlawan kok cuma dislempitkan," gugat patung
perempuan bernama Cempluk, yang dulu dikenal sebagai pejuang dari dapur
umum.Angin bertiup mengabarkan hari sudah pagi. Gelandangan-gelandangan yang
tidur melingkar di kaki monumen itu menggeliat. Mulut mereka menguap kompak.
Aroma abab bacin yang membadai dari sela gigi-gigi kuning, menguasai udara
sekitar. Tercium oleh para patung pahlawan. Sontak mereka serempak berdiri, dan
masing-masing kembali pada tempatnya, sebelum keheningan pagi dirajam
hiruk-pikuk kota, sebelum udara bersih pagi dicemari deru nafas kota yang
keruh.Dalam posisi asal, patung-patung pahlawan itu terus bergumam. Tapi hanya
telinga setajam kesunyian yang mampu menangkapnya.YU Seblak, pelacur senior
yang dikenal sebagai danyang alias "penunggu" monumen itu, duduk
takzim di kaki monumen. Tangannya di angkat di atas kepala. Tergenggam dupa
yang mengepulkan asap. Kepulan asap itu menari-nari mengikuti gerak tangan Yu
Seblak. Ke kanan, ke kiri, ke atas, dan ke bawah. Gerakan Yu Seblak diikuti
lima-enam orang yang duduk di belakang perempuan berdandan menor itu. Yu Seblak
bergumam meluncurkan kata-kata mantera."Aku mendengar ada banyak orang
mendoakan kita. Mereka memberi kita sesaji. Ada bunga-bunga, ada jajan pasar,
ada juga rokok klembak menyan," Mata Wibagso terus mengikuti upacara yang
dipimpin Yu Seblak."Kurang ajar! Kita dianggap dhemit! Malah ada yang
minta nomer buntut segala! Ini apa-apaan Wibagso!" teriak
Durmo."Ssssttt. Tenanglah. Apa susahnya kita membikin mereka sedikit
gembira. Anggap saja ini intermezzo dalam perjalanan kita menuju jagat
keabadian," ujar Wibagso."Tapi kalau pahlawan sudah disuruh ngurusi
togel itu kebangeten!" protes Cempluk."Hidup mereka gelap rekan
Cempluk. Mereka hanya bisa mengadu kepada kita, karena yang hidup tak pernah
mengurusi nasib mereka. Justru menghardik mereka...," tukas Ratri.Yu
Seblak terus mengucapkan doa dalam irama cepat, diikuti orang-orang di
belakangnya. Selesai memimpin doa, Yu Seblak menerima berbagai keluhan para
"pasiennya"."Wah kalau pahlawan disuruh ngurusi garukan pelacur,
ya enggak bisa. Punya permintaan itu mbok yang sopan gitu
lho...""Habis, saya selalu kena garuk, Yu. Jadinya 'dagangan' saya
sepi. Ehhh siapa tahu, para petugas ketertiban kota itu takut dengan Kanjeng Wibagso
dan semua pahlawan di sini. Tolong ya... Yu..." ujar Ajeng, perempuan
berparas malam itu, sambil menyerahkan amplop di genggaman Yu
Seblak."Yaahhh akan saya usahaken. Semoga saja Kanjeng Wibagso dan rekan
bisa mempertimbangken..."Wibagso tersenyum. Sidik manggut-manggut. Durmo
tampak tersinggung."Mereka ini payah. Garuk-menggaruk itu kan bukan urusan
kita. Mestinya mereka mengadu ke anggota dewan...""Ah anggota dewan
kan lebih senang kasak-kusuk untuk saling menjatuhkan...," ujar
Sidik."Tampung saja keluhan itu," sahut Wibagso."Tapi urusan
kita banyak, Bung! Kita masih harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan
kita selama hidup. Jujur saja, waktu berjuang dulu, aku menembaki musuh tanpa
ampun seperti aku membasmi tikus," mata Durmo menerawang jauh."Perang
memungkinkan segalanya, Bung. Kita tidak mungkin bersikap lemah lembut terhadap
musuh, yang mengincar nyawa kita. Kita membunuh bukan demi kepuasan melihat
mayat-mayat mengerjat-ngerjat karena nyawanya oncat. Kita hanya mempertahankan
hak yang harus digenggam," Wibagso mencoba menghibur Durmo."Kita
yakin saja, malaikat penghitung pahala pasti mencatat seluruh kebaikan
kita," Ratri menimpali.Dari penjual rokok di seberang jalan, sayup-sayup
terdengar warna berita dari radio: "Monumen Joang untuk mengenang lima
pahlawan yang gugur dalam pertempuran Kota Baru melawan pasukan Belanda akan
dipugar. Status mereka pun sedang diusulkan untuk ditingkatkan dari pahlawan
kota telah menyiapkan anggaran sebesar tiga milyar." Lima patung itu
mendengarkan berita dengan takzim. Wibagso meloncat girang. Ratri menari-nari.
Cempluk hanya diam terpekur. Durmo masih dibalut perasaan gelisah. Sidik
berdiri mematung, meskipun sudah sangat lama jadi patung."Kenapa kalian
hanya diam? Berita itu mesti kita rayakan!" ujar Wibagso."Untuk apa?
Aku sendiri tak terlalu bangga jadi pahlawan. Ternyata negeri yang kumerdekakan
ini, akhirnya hanya menjadi meja prasmanan besar bagi beberapa gelintir orang.
Sedang jutaan mulut yang lain, hanya menjadi tong sampah yang mengunyah sisa-sisa
pesta," ujar Sidik."Itu bukan urusan kita, Bung. Tugas kita sudah
selesai. Kita tinggal bersyukur melihat anak cucu hidup bahagia," sergah
Wibagso."Tapi jutaan orang-orang bernasib gelap itu terus menjerit.
Jeritan mereka memukul-mukul rongga batinku.""Ah, sudah jadi arwah
kok masih perasa.""Tapi perasaanku masih hidup!""Untuk apa
memikirkan semua itu. Kalau masih ada yang kurang beruntung, itu biasa. Hidup
ini perlombaan. Ada pemenang, ada juga pecundang!""Jangan-jangan kamu
ini kurang ikhlas berjuang, Bung Sidik," timpal Ratri."Kurang ikhlas
bagaimana? Kakiku yang pengkor ini telah kuberikan kepada hidup. Bahkan
jantungku telah menjadi sarang peluru-peluru musuh. Mereka memberondongku tanpa
ampun hingga tubuhku luluh latak bagai dendeng.""Ooo kalau soal itu,
penderitaanku lebih dahsyat. Kalian tahu, ketika aku merebut kota yang dikuasai
musuh, puluhan peluru merajamku. Tapi aku puas, karena berkat keberanianku,
nyali kawan-kawan kita terpompa dan akhirnya berhasil memenangkan pertempuran.
Ini semua berkat aku!""Enak saja kau bilang aku," sergah Durmo.
"Dalam pertempuran merebut Kota Baru itu, aku dan Sidik yang berdiri
paling depan. Menghadapi musuh satu lawan satu. Kamu sendiri, lari
terbirit-birit ke hutan dan ke gunung. Dan kamu, tanpa malu, menyebut sedang
bergerilya!""Tapi akulah yang punya ide untuk menyerang. Aku juga
yang memimpin serangan fajar itu!""Siapa yang mengangkatmu jadi
pemimpin, Wibagso? Siapa? Waktu itu, kita tak lebih dari pemuda yang hanya
bermodal nyali. Tak ada jabatan. Tak ada hierarki. Apalagi pimpinan produksi
perang!" hardik Durmo."Tapi perang tidak hanya pakai otot, Bung!
Perang juga pakai otak. Pakai strategi!" Napas Wibagso
naik-turun."Tapi strategi tanpa nyali bagai kepala tanpa kaki!" kilah
Durmo."Bung Wibagso," tukar Sidik, "Kenapa kamu sibuk
menghitung-hitung jasa yang sesungguhnya hampa?!"Bulan mengerjap, seperti
tersentak. Wajah Wibagso memerah. "Sidik! Belajarlah kamu menghargai jasa
orang lain. Jangan anggap kamu paling pahlawan di antara para pahlawan!""Kapan
aku membangga-banggakan diri? Kapan? Kamu ingat, waktu berjuang dulu, aku
justru menghilang ketika ada Panglima Besar mengunjungi kawan-kawan kita yang
berhasil menggempur musuh. Kalau aku mau, bisa saja aku mencatatkan diri
menjadi prajurit resmi. Dan aku yakin, ketika negeri ini merdeka, aku mampu
jadi petinggi yang bisa mborongi proyek. Tapi, puji Tuhan, maut keburu
menjemputku," ujar Sidik."Begitu juga aku," sergah Durmo,
"Aku berpesan kepada anak-anakku, kepada seluruh keturunanku, untuk tidak
mengungkit-ungkit jasa kepahlawananku, demi uang tunjangan yang tak seberapa
banyak. Itu pun masih banyak potongannya!""Munafik. Kalian ini
munafik!" bentak Wibagso.Bulan kembali mengerjap. Angin terasa mati.Napas
kota kembali berhembus. Jantung kota kembali berdegup. Gelandangan, pelacur dan
copet kembali menggeliat. Mulut mereka kompak menguap menyemburkan abab bacin
penuh bakteri."Aku yakin, kalau monumen ini jadi dipugar, kita akan
kehilangan tempat," ujar Kalur, pencopet bertubuh tinggi kurus
itu."Kita harus turun ke jalan. Kita kerahkan semua gelandangan di kota
ini. Kita demo besar-besaran!" timpal Karep yang dijuluki
"gelandangan intelektual" karena gemar mengutip kata-kata
gagah.Percakapan mereka dihentikan suara radio milik Yu Seblak yang menyiarkan warta
berita: "Drs Ginsir, Kepala Kotapraja yang menggantikan RM Picis,
membatalkan rencana pemugaran Monumen Joang. Menurut Drs Gingsir, proyek itu
mubazir. Bertenangan dengan azas kemanfaatan bagi publik. Apalagi pengajuan
perubahan status menjadi pahlawan nasional, ditolak Tim Pakar Sejarah Nasional.
Dana sebesar tiga milyar dialihkan untuk memberikan bantuan pangan kepada
masyarakat prasejahtera."Gelandangan-gelandangan sontak bersorak. Mereka
menari. Beberapa orang menenggak minuman oplosan alkohol. Bahkan ada yang mencampurinya
dengan spritus. Jantung mereka berdetak cepat. Gerakan tubuh mereka semakin
rancak, semakin panas.Bulan pucat di angkasa berselimut kabut. Kota kembali
tidur. Tapi di sebuah gedung pemerintahan kotapraja, tampak lampu masih
menyala."Saya setuju saja, jika Den Bei Taipan mau bikin mall di
sini," ujar Drs Ginsir sambil minum anggur."Terima kasih... terima
kasih. Bapak Ginsir ternyata welcome. Eeee soal pembagian keuntungan, itu
dinegosiasikan. Biasanya, 30:60." Den Bei menenggak anggur
merah."Tapi tunggu dulu, Den Bei. Saya mesti mengusulkan masalah ini pada
Dewan. Dan biasanya itu agak lama. Maklum...""Eeee bagaimana kalau
35:65. Tidak ada konglomerat gila macam saya.""Tapi masih banyak
konglomerat lain yang lebih gila, Den Bei...""Bagaimana kalau 40:60.
Ini peningkatan yang sangat progresif.""Well...well...well... Saya
kira Den Bei bisa bikin mall tidak hanya satu. Tanah di sini masih sangat
luas.""Bapak ini ternyata cerdas. Setidaknya, mendadak
cerdas."Keduanya tertawa berderai."Den Bei tinggal pilih. Alun-alun,
bekas benteng Rotenberg atau di Monumen Joang.""Semuanya akan saya
ambil.""Terima kasih. Sulaplah kota kami ini jadi
metropolitan."Keduanya berjabat tangan.***"PENGKHIANAT! Culas! Licik
dan sombong! Penguasa demi penguasa datang, ternyata hanya bertukar rupa.
Mereka tetap saja menikamkan pengkhianatan demi pengkhianatan di tubuh
kita!" Wibagso menggebrak, hingga tubuh monumen bergetar."Mereka
menganggap kita sekadar bongkahan batu yang beku. Mereka hendak menggerus kita
menjadi butiran-butiran masa silam yang kelam!" hardik Ratri.Sidik, Durmo,
dan Cempluk tersenyum."Kenapa kalian hanya diam? Kita ini hendak
diluluhlantakkan. Lihatlah buldoser-buldoser itu datang. Berderap-derap. Kita
harus bertahan. Bertahan!" teriak Wibagso.Di bawah monumen, Yu Seblak
memimpin penghadangan penggusuran. "Kita harus bertahan! Kita lawan
buldoser-buldoser itu! Ajeng, Karep, Kalur, di mana kalian?" teriak Yu
Seblak."Kami di sini. Di belakangmu!" jawab mereka kompak."Kita
lawan mereka. Kita pertahankan liang-liang kita. Lebih baik mati daripada
selamanya dikutuk jadi kecoa!"Deru buldoser-buldoser mengepung monumen.
Beberapa orang berseragam memberi aba-aba. Buldoser-buldoser terus
merangsek."Lihatlah, mereka yang hanya gelandangan saja membela kita. Mestinya
kalian malu!" hardik Wibagso."Wibagso! Kalau kami akhirnya melawan
mereka, itu bukan untuk membela kepongahan kita sebagai pahlawan. Tapi membela
mereka yang juga punya hak hidup!" teriak Sidik."Aku tak butuh
penjelasan. Tapi butuh kejelasan sikap kalian untuk melawan mereka Ratri,
meloncatlah kamu. Dan masuklah ke ruang kemudi. Cekik leher sopir-sopir itu.
Cempluk, tahan moncong buldoser itu. Ganjal dengan tubuhmu. Sidik, dan kamu
Durmo hancurkan mesin buldoser-buldoser itu. Cepat!" Wibagso mengatur
perlawanan seperti ketika menghadapi tentara-tentara penjajah.Buldoser terus
merangsek. Meluluhlantakkan badan monumen. Menerjang orang-orang yang mencoba
bertahan. Kalur, Karep, Ajeng, dan orang-orang lainnya lari lintang
pukang."Kalian benar-benar pengecut!" teriak Yu Seblak."Sia-sia
melawan mereka! Mereka ternyata buaanyaakkk sekali!" teriak
Kalur."Kita menyingkir saja. Pahlawan saja mereka gilas, apalagi kecoa
makam kita! Menyingkir... Menyingkir saja!!!" Karep mencoba menarik Yu
Seblak yang berdiri beberapa sentimeter dari moncong-moncong buldoser. Tapi Yu
Seblak tetap bertahan, sambil terus mengibar-ngibarkan kain dan kutangnya. Tak
ada yang menahan Yu Seblak untuk telanjang. Buldoser-buldoser itu dengan rakus
dan bergairah menggilas tubuh Yu Seblak. Tubuh kuning langsat itu bagaikan buah
semangka yang dilumat blender.Wibagso tersentak. Ratri menjerit histeris. Durmo
dan Sidik berteriak-teriak penuh amarah. Mereka mencoba menghadang
buldoser-buldoser itu. Tapi mesin penghancur itu terlalu kuat buat dilawan.
Patung-patung itu dilabrak dan dihajar hingga lumat.Bulan di angkasa mengerjap,
Angin mati."Kalian telah membunuh kami untuk yang kedua kalinya..."
ujar Wibagso lirih. Ucapan itu terus bergema, hingga mall itu selesai dibangun,
dan diresmikan Kepala Kotapraja, Drs Gingsir. Hingga kini, suara-suara itu
terus mengalun. Tapi hanya telinga setajam kesunyian yang mampu mendengar
gugatan itu.*Jogja, awal Juli 2002 (Terima kasih untuk Joko DH dan Menthol
Hartoyo)
Cerpen:
Indra Tranggono
Sumber: Kompas, Edisi 09/15/2002
0 komentar:
Post a Comment