Zaman sekarang, rasanya tiap kali kita masuk kelas kuliah, pasti banyak mahasiswa yang mencatat pelajaran dengan gawai masing-masing (Gawai itu Bahasa Indonesia dari Gadget). Ada yang mengetik di smartphone, ada yang buka laptop, bahkan ada yang saking malasnya sampai-sampai tulisan dosen di papan tulis dipotret dengan kamera handphone. Tidak jarang, di akhir kelas atau di akhir masa kuliah menjelang UAS, mahasiswa mendatangi dosen untuk meminta slide presentasi buatan dosen selama kuliah.
Di beberapa kampus juga sering tersedia fasilitas portal akademik, dimana dosen bisa mengunggah materi kuliah atau tugas yang bisa diunduh mahasiswanya. Praktis, mahasiswa pun tidak perlu lagi selalu berjumpa dengan dosen, karena materi dan tugas kuliah bisa didapat secara online. Bahkan saat tiba masa pemilihan mata kuliah, mahasiswa secara mudah dapat memilih mata kuliahnya sendiri melalui portal online.
Ya, dunia hari ini memang penuh dengan berbagai macam fasilitas digitalisasi. Buku-buku di perpustakaan mulai tergantikan dengan adanya e-book yang bisa diunduh gratis. Internet juga menyediakan sumber informasi dan referensi yang nyaris tanpa batas dan bisa kamu peroleh kapanpun dan dimanapun, hanya dengan modal laptop dan koneksi wifi.
Gambaran kehidupan mahasiswa klasik yang selalu berjibaku dengan ratusan tumpukan buku, menulis berlembar-lembar catatan pelajaran di kelas, dan diskusi intens dengan dosen, nampaknya mulai pudar, meski bukan berarti tidak ada sama sekali.
Apa yang kamu gunakan untuk mencatat pelajaran di kelas? Laptop, dengan mengunduh materi dari pemberian dosen? Handphone, dengan mengetik ucapan dosen? Atau sekedar memotret tulisan dosen di papan tulis? Atau bahkan merekam suara dosen saat mengajar?
Nyatet kuliah ya dab!

Masihkah ada dari kamu, mahasiswa kontemporer, yang masih jadi old-fashioned-student dan cukup kece untuk mencatat di buku catatan menggunakan pena atau pensil?
Kalau ada, beruntunglah kamu! Entah kamu itu memang cerdas mengkritisi teknologi atau memang dasar kamunya gaptek :), nyatanya, orang yang mencatat dengan kertas dan pena dapat lebih cepat dan efisien untuk belajar, ketimbang mereka yang mencatat dengan gadget super instan. Seperti itulah hasil penelitian yang dilakukan ilmuwan Pam Mueller dan Daniel Oppenheimer dari Princeton University dan University of California. Kenapa begitu? Inilah alasannya:

Menulis tangan itu lebih lambat dan butuh waktu untuk mencerna kata-kata dosen, dan “pencernaan” itu penting

18ix6s43ynqh0jpg
Cukup dengan berbekal pena, kertas, telinga yang terbuka, dan mata yang melotot!

Jadi begini, otak kita mengalami dua proses kognitif berbeda ketika melakukan kegiatan menulis dan mengetik.
Dalam eksperimen penelitiannya Pakde Pam dan Pakde Oppenheimer, mereka mengambil beberapa mahasiswa sebagai sampel dan membaginya menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama disuruh mengikuti kuliah dengan mencatat di gawai laptop, sementara kelompok lainnya menggunakan kertas dan pena secara kuno.
Setelah diamati, mereka menemukan bahwa mahasiswa yang mengetik dengan gawai akan mengetik apapun yang dikatakan sang dosen. Secara mentah-mentah, semua yang mereka dengar akan diketik bulat-bulat begitu saja. Tentu ini bukan hal yang sulit, karena laptop atau handphone sangat mudah untuk dipakai mengetik banyak kata-kata dalam waktu singkat.
Dari eksperimen ini, dapat dianalisis bahwa para mahasiswa hanya sekedar mentranskrip apa yang mereka dengar. Sama sekali tidak ada proses kognitif, tidak ada proses mencerna atas apa yang mereka dengar. Boleh jadi mungkin para mahasiswa itu tidak paham apa-apa dengan yang mereka dengar, dan berharap catatan yang mereka buat akan cukup untuk menjadi bahan belajar di rumah.
Bagaimana dengan orang yang menulis tangan secara the-good-old-fashioned-way? Pertama-tama, jelas menulis tangan jauh lebih lambat daripada mengetik dengan gawai. Sehingga tidak mungkin semua perkataan dosen dicatat bulat-bulat. Akhirnya, para mahasiswa itu mendengarkan sang dosen dengan teliti, lalu merangkum apa yang ia dengar dalam kepala, dan kemudian menuangkan rangkuman tersebut dalam bentuk tulisan singkat di kertas. Biasanya catatan tersebut akan berupa poin-poin kata kunci penting saja.
Otakmu pun lebih banyak bekerja di sini. Kamu pun tanpa sadar mencerna materi kuliah dengan baik. Secara otomatis kamu menuliskan dan memahami poin-poin penting dari materi kuliah di buku catatanmu.
Boleh jadi akhirnya nanti kamu malah tidak perlu melihat catatan itu lagi menjelang UAS, karena kamu telah mencernanya sewaktu dulu mencatatnya, the hard way!

Catatan yang Lebih Panjang Bukan Berarti Lebih Baik

Ceritanya lagi mau UAS nih. Langsung bongkar catatan dan belajar mati-matian!

Mungkin kamu tidak setuju dengan penjabaran barusan. Mungkin kamu akan berkilah:
“kalau nyatet di gawai bisa lebih banyak dan lengkap, kalau nyatet di kertas suka ada yang kelewatan. Apalagi kalau motret tulisan di papan tulis atau cukup unduh materi dosen di portal, itu udah paling lengkap!”
Hmm, baiklah. Kita memang tidak bisa berbuat banyak kalau memang sistem pendidikan di perguruan tinggi memanjakan kita dengan modul materi kuliah instan di portal online.
Tapi percayalah kawan, kalau kamu punya kesempatan untuk mengikuti kuliah secara live, bertemu dosen yang seratus persen hidup di depan matamu, lebih baik kamu manfaatkan kesempatan itu dengan maksimal. Kamu bisa berbincang secara langsung dengan dosen, atau sekedar mencatat di kertas secara teliti.
Masih berhubungan dengan penelitian Pakde Oppenheimer, eksperimen berikutnya adalah: dua kelompok mahasiswa yang tadi disuruh mencatat dengan kertas dan laptop, seminggu kemudian diberikan ujian yang persis sama. Hasilnya? Dapat ditebak, mahasiswa yang mencatat dengan tangannya mendapat hasil yang lebih baik.
Kenapa bisa begitu? Karena menurut Oppenheimer, kegiatan menulis tangan memberikan manfaat mengingat yang lebih efektif atas dua faktor berikut:
Konteks: dengan menulis tangan, kamu ingat akan konteks proses menulis saat mendengar ucapan dosen. Kamu ingat bagaimana emosi yang kamu dan dosenmu rasakan saat kuliah berlangsung, dan seperti apa kesimpulan dari pelajaran itu di benakmu.
Maka itu, seperti yang diungkap di awal, sangat penting untuk menghayati proses pembelajaran di kelas. Tanyalah dosen kalau memang ada yang tidak dimengerti dan jawablah pertanyaan dosen kalau beliau menanyakan sesuatu yang kamu pahami. Catat dengan lugas dan to-the-point apa yang menjadi inti diskusi kalian.
Proses interaksi humanis seperti itu jugalah yang akan membuat pengalaman belajar di kelas berkesan di kepalamu, dan otomatis membuat pelajaran mudah diingat dan dipahami.
Konten: Dengan menulis tangan, kamu mencatat dengan merangkum hal-hal yang penting-penting saja. Ditambah lagi, hasil rangkuman tersebut adalah proses kognitif dari otakmu saat itu.
Sementara itu, bagaimana dengan yang mencatat menggunakan gawai mereka? Silahkan dilihat di grafik berikut. Dari segi faktual, kedua mahasiswa pencatat kertas dan pencatat gawai mendapat nilai yang agak berimbang. Pengguna laptop mungkin sedikit menang di sini, karena catatannya lebih lengkap. Sementara dari segi konseptual, yang mencatat tangan mendapat nilai yang luar biasa tinggi, sementara pencatat gawai mendapat nilai minus yang cukup parah. Kenapa? Karena itu tadi, si pencatat tangan sudah paham benar dengan konteks pembelajaran di kelas dan sudah melakukan proses kognitif yang hebat ketika ia mencatat di kertasnya.
Screen_Shot_2014-06-03_at_4.55.00_PM

Gawai, adalah Sumber Distraksi yang Sangat Besar!

Mau belajar atau mau ngapain kalau kayak begini? :D
Jadi ceritanya kamu masih menggunakan handphone untuk mencatat pelajaran. Baiklah, mari gunakan handphonemu, karena sebenarnya tidak masalah juga kalau kamu memang berkomitmen untuk belajar.
Kecuali kalau hal ini terjadi:

Eh hape getar, tiba-tiba ada whatsapp dari si pacar. Ngajakin makan di kantin abis selesai kuliah. Balas dulu deeh. Jangan lupa ditutup dengan kalimat gombal pamungkas.
Eh, ada notif baru dari facebook, statusmu dikomentarin sama temanmu, balas dulu deh komentarnya. Eh ada notif lagi, oh ternyata cuman invite main Candy Crush.
Eh, ada mention baru dari twitter. Siapa nih yang nyapa? Tumben banget biasanya sepi. Wah, ternyata hanya mention dari akun bot yang nawarin les Bahasa Inggris. Huft!
Eh, ada yang left sticker di post Line kamu, jadi malu. Terus ada yang ngajakin main LINE’s Let’s Get Rich. Aduh aduuh, berisik banget mereka, sudah tahu aku lagi kuliah.
Ya sudah deh, iseng-iseng karena sudah buka Line, mumpung gak dilihat dosen, sekalian saja unduh sticker barunya Joe Taslim, keren bisa gerak-gerak gitu. Sticker Raisa juga cantik nih.
Dosennya lagi bosenin nih yang ngajar. Scrolling timeline dulu deh bentar… Update posisi dulu deh di Path, dosennya lagi gak ngeliat nih, diem-diem aku foto ah, buat update Instagram…

Waduh…
Faktanya guys, menurut penelitan Helene Hembrooke dan Geri Gay dari Human Computer Interaction Laboratory, Cornell University, 40 persen waktu di kelas seringkali dihabiskan mahasiswa untuk berkutat dengan hal non-belajar seperti ini. Hal-hal tidak produktif semacam chatting, lihat sosmed, update status, nonton YouTube, dan kegiatan selancaran di dunia maya lainnya, akan mendistraksimu dari proses kognitif yang seharusnya kamu jalani di kelas.
Bahkan sering sekali mahasiswa semacam ini gagal menempuh kuliahnya atau beresiko mengerjakan ujian dengan tidak jujur. Ketika UAS akhirnya menyelundupkan handphone buat buka Wikipedia deh…
Apakah hura-hura gawai itu begitu buruk? Tentu saja tidak. Sesuatu itu baru buruk kalau ditempatkan tidak pada tempatnya bukan? Ngobrol dengan pacarmu jelas tidak boleh terjadi kalau kamu sedang mempelajari kitab-kitab pemikiran Hegel di kuliah. Begitupun ketika kamu sedang chatting dengan pacarmu saat ngapel, tidak boleh ada tema tentang Dasar-dasar Teori Hidrolika dalam perbincangan romantis kalian. :)

Akhir kata, ini memang hanya tips. Seperti halnya pentingnya mahasiswa untuk berorganisasi seperti yang telah dibahas IsiGood sebelumnya, barangkali tidak semua dari kamu bisa cocok dengan tips ini. Semuanya tergantung dari bagaimana kamu memaknai kehidupan perkuliahanmu.
Boleh jadi mencatat di gawai memang cocok dalam keseharianmu, tergantung konteks. Kadang memang lebih cepat dan efektif untuk menulis di gawai kalau kamu lagi mencatat sesuatu yang harus cepat. Misal, mencatat nomor hape gebetanmu.
Oke, selamat mencoba!

Data ilmiah dari artikel ini disarikan dari lifehack.org
Sumber : IsiGood
sedikit yang ku tau tentang tempat ini. Bahkan, sehari sebelumnya aku sempat berdebat dengan teman ku. "Lubuk linggau itu ada di sumatera selatan," ."bukan, sulawesi selatan". akhirnya wikipedia menengahi kami sekaligus memenangkan kawan ku dalam perdebatan.
Benar, letak nya di sumatera selatan. Tanah Sumatera. Tanah disebelah kiri kalimantan.
Lalu, Lubuk linggau itu tepatnya dimana?
Masih belum terbayang.
BULAN sebesar semangka tersepuh perak, tergantung di langit kota, dini hari. Cahayanya yang lembut, tipis berselaput kabut, menerpa lima sosok patung pahlawan yang berdiri di atas Monumen Joang yang tak terawat dan menjadi sarang gelandangan. Cahaya bulan itu seperti memberi tenaga kepada mereka untuk bergerak-gerak, dari posisi mereka yang berdiri tegak. Mereka seperti mencuri kesempatan dari genggaman warga kota yang terlelap dirajam kantuk dalam ringkus selimut.Lima patung yang terdiri dari tiga lelaki dan dua perempuan itu, menggoyang-goyangkan kaki, menggerakkan tangan, kemudian duduk dan bahkan ada yang tiduran. Mungkin, mereka sangat letih karena selama lebih dari empat puluh tahun berdiri di situ. Wajah mereka yang kaku, dengan lipatan-lipatan cor semen yang beku pun kerap bergerak-gerak seperti orang mengaduh, mengeluh, menjerit dan berteriak. Tentu, hanya telinga setajam kesunyian yang mampu mendengarnya."Dulu, ketika jasad kita terbujur di sini, kota ini sangat sunyi. Hanya beberapa lampu berpendar bagai belasan kunang-kunang yang membangunkan malam. Kini, puluhan bahkan ratusan lampu, bependar-pendar seterang siang. Negeri ini benar-benar megah," ujar patung lelaki yang dikenal dengan nama Wibagso sambil mengayun-ayunkan senapannya."Tapi lihatlah di sana, Bung Wibagso. Kumpulan gelandangan tumpang-tindih bagi jutaan cendol sedang makan bangkai anjing dengan lahap. Dan di sana, lihatlah deretan gubug-gubug reyot menyatu dengan gelandangan yang berjejal bagai benalu menempel di tembok gedung-gedung. Mulut mereka menganga menyemburkan abab bacin serupa aroma mayat, mengundang jutaan lalat terjebak di dalamnya. Ya, Tuhan, mereka mengunyah lalat-lalat itu..." desis patung lelaki bernama Durmo.Ratri, patung perempuan yang dulu dikenal sebagai mata-mata kaum gerilyawan, menukas, "Itu biasa rekan Durmo. Dalam negeri yang gemerlap, selalu dirawat kemiskinan sebagai ilham bagi kemajuan. Kita mesti bangga, negeri ini sangat kaya. Lihatlah di sana deretan rumah mewah menyimpan jutaan keluarga bahagia. Ada mobil-mobil mewah, ada lapangan golf pribadi, bahkan ada pesawat terbang pribadi... Dan lihatlah di sana, orang-orang berdansa-dansi sampai pagi. Yaaa... ampun malah ada yang orgi..."Patung Sidik, yang sejak tadi menyidik dunia sekitar dengan mata nanar melenguh bagai sapi di ruang jagal, "Ternyata mereka hanya sanggup mengurus perut dan kelamin mereka sendiri. Aku jadi menyesal, kenapa dulu ikut memerdekakan negeri ini.""Aku pun jadi tidak lagi pede sebagai pahlawan," timpal Durmo, "Kita bediri di sini tak lebih dari hantu sawah. Ternyata mereka tak sungkan apalagi hormat kepada kita. Buktinya, mereka menggaruk apa saja.""Kamu jangan terlalu sentimentil. Aku rasa mereka tetap hormat kepada kita. Buktinya, mereka membangunkan kita monumen yang megah," tukas Wibagso.Tapi kenapa kita hanya diletakkan di sini, di tempat njepit ini. Mosok monumen pahlawan kok cuma dislempitkan," gugat patung perempuan bernama Cempluk, yang dulu dikenal sebagai pejuang dari dapur umum.Angin bertiup mengabarkan hari sudah pagi. Gelandangan-gelandangan yang tidur melingkar di kaki monumen itu menggeliat. Mulut mereka menguap kompak. Aroma abab bacin yang membadai dari sela gigi-gigi kuning, menguasai udara sekitar. Tercium oleh para patung pahlawan. Sontak mereka serempak berdiri, dan masing-masing kembali pada tempatnya, sebelum keheningan pagi dirajam hiruk-pikuk kota, sebelum udara bersih pagi dicemari deru nafas kota yang keruh.Dalam posisi asal, patung-patung pahlawan itu terus bergumam. Tapi hanya telinga setajam kesunyian yang mampu menangkapnya.YU Seblak, pelacur senior yang dikenal sebagai danyang alias "penunggu" monumen itu, duduk takzim di kaki monumen. Tangannya di angkat di atas kepala. Tergenggam dupa yang mengepulkan asap. Kepulan asap itu menari-nari mengikuti gerak tangan Yu Seblak. Ke kanan, ke kiri, ke atas, dan ke bawah. Gerakan Yu Seblak diikuti lima-enam orang yang duduk di belakang perempuan berdandan menor itu. Yu Seblak bergumam meluncurkan kata-kata mantera."Aku mendengar ada banyak orang mendoakan kita. Mereka memberi kita sesaji. Ada bunga-bunga, ada jajan pasar, ada juga rokok klembak menyan," Mata Wibagso terus mengikuti upacara yang dipimpin Yu Seblak."Kurang ajar! Kita dianggap dhemit! Malah ada yang minta nomer buntut segala! Ini apa-apaan Wibagso!" teriak Durmo."Ssssttt. Tenanglah. Apa susahnya kita membikin mereka sedikit gembira. Anggap saja ini intermezzo dalam perjalanan kita menuju jagat keabadian," ujar Wibagso."Tapi kalau pahlawan sudah disuruh ngurusi togel itu kebangeten!" protes Cempluk."Hidup mereka gelap rekan Cempluk. Mereka hanya bisa mengadu kepada kita, karena yang hidup tak pernah mengurusi nasib mereka. Justru menghardik mereka...," tukas Ratri.Yu Seblak terus mengucapkan doa dalam irama cepat, diikuti orang-orang di belakangnya. Selesai memimpin doa, Yu Seblak menerima berbagai keluhan para "pasiennya"."Wah kalau pahlawan disuruh ngurusi garukan pelacur, ya enggak bisa. Punya permintaan itu mbok yang sopan gitu lho...""Habis, saya selalu kena garuk, Yu. Jadinya 'dagangan' saya sepi. Ehhh siapa tahu, para petugas ketertiban kota itu takut dengan Kanjeng Wibagso dan semua pahlawan di sini. Tolong ya... Yu..." ujar Ajeng, perempuan berparas malam itu, sambil menyerahkan amplop di genggaman Yu Seblak."Yaahhh akan saya usahaken. Semoga saja Kanjeng Wibagso dan rekan bisa mempertimbangken..."Wibagso tersenyum. Sidik manggut-manggut. Durmo tampak tersinggung."Mereka ini payah. Garuk-menggaruk itu kan bukan urusan kita. Mestinya mereka mengadu ke anggota dewan...""Ah anggota dewan kan lebih senang kasak-kusuk untuk saling menjatuhkan...," ujar Sidik."Tampung saja keluhan itu," sahut Wibagso."Tapi urusan kita banyak, Bung! Kita masih harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan kita selama hidup. Jujur saja, waktu berjuang dulu, aku menembaki musuh tanpa ampun seperti aku membasmi tikus," mata Durmo menerawang jauh."Perang memungkinkan segalanya, Bung. Kita tidak mungkin bersikap lemah lembut terhadap musuh, yang mengincar nyawa kita. Kita membunuh bukan demi kepuasan melihat mayat-mayat mengerjat-ngerjat karena nyawanya oncat. Kita hanya mempertahankan hak yang harus digenggam," Wibagso mencoba menghibur Durmo."Kita yakin saja, malaikat penghitung pahala pasti mencatat seluruh kebaikan kita," Ratri menimpali.Dari penjual rokok di seberang jalan, sayup-sayup terdengar warna berita dari radio: "Monumen Joang untuk mengenang lima pahlawan yang gugur dalam pertempuran Kota Baru melawan pasukan Belanda akan dipugar. Status mereka pun sedang diusulkan untuk ditingkatkan dari pahlawan kota telah menyiapkan anggaran sebesar tiga milyar." Lima patung itu mendengarkan berita dengan takzim. Wibagso meloncat girang. Ratri menari-nari. Cempluk hanya diam terpekur. Durmo masih dibalut perasaan gelisah. Sidik berdiri mematung, meskipun sudah sangat lama jadi patung."Kenapa kalian hanya diam? Berita itu mesti kita rayakan!" ujar Wibagso."Untuk apa? Aku sendiri tak terlalu bangga jadi pahlawan. Ternyata negeri yang kumerdekakan ini, akhirnya hanya menjadi meja prasmanan besar bagi beberapa gelintir orang. Sedang jutaan mulut yang lain, hanya menjadi tong sampah yang mengunyah sisa-sisa pesta," ujar Sidik."Itu bukan urusan kita, Bung. Tugas kita sudah selesai. Kita tinggal bersyukur melihat anak cucu hidup bahagia," sergah Wibagso."Tapi jutaan orang-orang bernasib gelap itu terus menjerit. Jeritan mereka memukul-mukul rongga batinku.""Ah, sudah jadi arwah kok masih perasa.""Tapi perasaanku masih hidup!""Untuk apa memikirkan semua itu. Kalau masih ada yang kurang beruntung, itu biasa. Hidup ini perlombaan. Ada pemenang, ada juga pecundang!""Jangan-jangan kamu ini kurang ikhlas berjuang, Bung Sidik," timpal Ratri."Kurang ikhlas bagaimana? Kakiku yang pengkor ini telah kuberikan kepada hidup. Bahkan jantungku telah menjadi sarang peluru-peluru musuh. Mereka memberondongku tanpa ampun hingga tubuhku luluh latak bagai dendeng.""Ooo kalau soal itu, penderitaanku lebih dahsyat. Kalian tahu, ketika aku merebut kota yang dikuasai musuh, puluhan peluru merajamku. Tapi aku puas, karena berkat keberanianku, nyali kawan-kawan kita terpompa dan akhirnya berhasil memenangkan pertempuran. Ini semua berkat aku!""Enak saja kau bilang aku," sergah Durmo. "Dalam pertempuran merebut Kota Baru itu, aku dan Sidik yang berdiri paling depan. Menghadapi musuh satu lawan satu. Kamu sendiri, lari terbirit-birit ke hutan dan ke gunung. Dan kamu, tanpa malu, menyebut sedang bergerilya!""Tapi akulah yang punya ide untuk menyerang. Aku juga yang memimpin serangan fajar itu!""Siapa yang mengangkatmu jadi pemimpin, Wibagso? Siapa? Waktu itu, kita tak lebih dari pemuda yang hanya bermodal nyali. Tak ada jabatan. Tak ada hierarki. Apalagi pimpinan produksi perang!" hardik Durmo."Tapi perang tidak hanya pakai otot, Bung! Perang juga pakai otak. Pakai strategi!" Napas Wibagso naik-turun."Tapi strategi tanpa nyali bagai kepala tanpa kaki!" kilah Durmo."Bung Wibagso," tukar Sidik, "Kenapa kamu sibuk menghitung-hitung jasa yang sesungguhnya hampa?!"Bulan mengerjap, seperti tersentak. Wajah Wibagso memerah. "Sidik! Belajarlah kamu menghargai jasa orang lain. Jangan anggap kamu paling pahlawan di antara para pahlawan!""Kapan aku membangga-banggakan diri? Kapan? Kamu ingat, waktu berjuang dulu, aku justru menghilang ketika ada Panglima Besar mengunjungi kawan-kawan kita yang berhasil menggempur musuh. Kalau aku mau, bisa saja aku mencatatkan diri menjadi prajurit resmi. Dan aku yakin, ketika negeri ini merdeka, aku mampu jadi petinggi yang bisa mborongi proyek. Tapi, puji Tuhan, maut keburu menjemputku," ujar Sidik."Begitu juga aku," sergah Durmo, "Aku berpesan kepada anak-anakku, kepada seluruh keturunanku, untuk tidak mengungkit-ungkit jasa kepahlawananku, demi uang tunjangan yang tak seberapa banyak. Itu pun masih banyak potongannya!""Munafik. Kalian ini munafik!" bentak Wibagso.Bulan kembali mengerjap. Angin terasa mati.Napas kota kembali berhembus. Jantung kota kembali berdegup. Gelandangan, pelacur dan copet kembali menggeliat. Mulut mereka kompak menguap menyemburkan abab bacin penuh bakteri."Aku yakin, kalau monumen ini jadi dipugar, kita akan kehilangan tempat," ujar Kalur, pencopet bertubuh tinggi kurus itu."Kita harus turun ke jalan. Kita kerahkan semua gelandangan di kota ini. Kita demo besar-besaran!" timpal Karep yang dijuluki "gelandangan intelektual" karena gemar mengutip kata-kata gagah.Percakapan mereka dihentikan suara radio milik Yu Seblak yang menyiarkan warta berita: "Drs Ginsir, Kepala Kotapraja yang menggantikan RM Picis, membatalkan rencana pemugaran Monumen Joang. Menurut Drs Gingsir, proyek itu mubazir. Bertenangan dengan azas kemanfaatan bagi publik. Apalagi pengajuan perubahan status menjadi pahlawan nasional, ditolak Tim Pakar Sejarah Nasional. Dana sebesar tiga milyar dialihkan untuk memberikan bantuan pangan kepada masyarakat prasejahtera."Gelandangan-gelandangan sontak bersorak. Mereka menari. Beberapa orang menenggak minuman oplosan alkohol. Bahkan ada yang mencampurinya dengan spritus. Jantung mereka berdetak cepat. Gerakan tubuh mereka semakin rancak, semakin panas.Bulan pucat di angkasa berselimut kabut. Kota kembali tidur. Tapi di sebuah gedung pemerintahan kotapraja, tampak lampu masih menyala."Saya setuju saja, jika Den Bei Taipan mau bikin mall di sini," ujar Drs Ginsir sambil minum anggur."Terima kasih... terima kasih. Bapak Ginsir ternyata welcome. Eeee soal pembagian keuntungan, itu dinegosiasikan. Biasanya, 30:60." Den Bei menenggak anggur merah."Tapi tunggu dulu, Den Bei. Saya mesti mengusulkan masalah ini pada Dewan. Dan biasanya itu agak lama. Maklum...""Eeee bagaimana kalau 35:65. Tidak ada konglomerat gila macam saya.""Tapi masih banyak konglomerat lain yang lebih gila, Den Bei...""Bagaimana kalau 40:60. Ini peningkatan yang sangat progresif.""Well...well...well... Saya kira Den Bei bisa bikin mall tidak hanya satu. Tanah di sini masih sangat luas.""Bapak ini ternyata cerdas. Setidaknya, mendadak cerdas."Keduanya tertawa berderai."Den Bei tinggal pilih. Alun-alun, bekas benteng Rotenberg atau di Monumen Joang.""Semuanya akan saya ambil.""Terima kasih. Sulaplah kota kami ini jadi metropolitan."Keduanya berjabat tangan.***"PENGKHIANAT! Culas! Licik dan sombong! Penguasa demi penguasa datang, ternyata hanya bertukar rupa. Mereka tetap saja menikamkan pengkhianatan demi pengkhianatan di tubuh kita!" Wibagso menggebrak, hingga tubuh monumen bergetar."Mereka menganggap kita sekadar bongkahan batu yang beku. Mereka hendak menggerus kita menjadi butiran-butiran masa silam yang kelam!" hardik Ratri.Sidik, Durmo, dan Cempluk tersenyum."Kenapa kalian hanya diam? Kita ini hendak diluluhlantakkan. Lihatlah buldoser-buldoser itu datang. Berderap-derap. Kita harus bertahan. Bertahan!" teriak Wibagso.Di bawah monumen, Yu Seblak memimpin penghadangan penggusuran. "Kita harus bertahan! Kita lawan buldoser-buldoser itu! Ajeng, Karep, Kalur, di mana kalian?" teriak Yu Seblak."Kami di sini. Di belakangmu!" jawab mereka kompak."Kita lawan mereka. Kita pertahankan liang-liang kita. Lebih baik mati daripada selamanya dikutuk jadi kecoa!"Deru buldoser-buldoser mengepung monumen. Beberapa orang berseragam memberi aba-aba. Buldoser-buldoser terus merangsek."Lihatlah, mereka yang hanya gelandangan saja membela kita. Mestinya kalian malu!" hardik Wibagso."Wibagso! Kalau kami akhirnya melawan mereka, itu bukan untuk membela kepongahan kita sebagai pahlawan. Tapi membela mereka yang juga punya hak hidup!" teriak Sidik."Aku tak butuh penjelasan. Tapi butuh kejelasan sikap kalian untuk melawan mereka Ratri, meloncatlah kamu. Dan masuklah ke ruang kemudi. Cekik leher sopir-sopir itu. Cempluk, tahan moncong buldoser itu. Ganjal dengan tubuhmu. Sidik, dan kamu Durmo hancurkan mesin buldoser-buldoser itu. Cepat!" Wibagso mengatur perlawanan seperti ketika menghadapi tentara-tentara penjajah.Buldoser terus merangsek. Meluluhlantakkan badan monumen. Menerjang orang-orang yang mencoba bertahan. Kalur, Karep, Ajeng, dan orang-orang lainnya lari lintang pukang."Kalian benar-benar pengecut!" teriak Yu Seblak."Sia-sia melawan mereka! Mereka ternyata buaanyaakkk sekali!" teriak Kalur."Kita menyingkir saja. Pahlawan saja mereka gilas, apalagi kecoa makam kita! Menyingkir... Menyingkir saja!!!" Karep mencoba menarik Yu Seblak yang berdiri beberapa sentimeter dari moncong-moncong buldoser. Tapi Yu Seblak tetap bertahan, sambil terus mengibar-ngibarkan kain dan kutangnya. Tak ada yang menahan Yu Seblak untuk telanjang. Buldoser-buldoser itu dengan rakus dan bergairah menggilas tubuh Yu Seblak. Tubuh kuning langsat itu bagaikan buah semangka yang dilumat blender.Wibagso tersentak. Ratri menjerit histeris. Durmo dan Sidik berteriak-teriak penuh amarah. Mereka mencoba menghadang buldoser-buldoser itu. Tapi mesin penghancur itu terlalu kuat buat dilawan. Patung-patung itu dilabrak dan dihajar hingga lumat.Bulan di angkasa mengerjap, Angin mati."Kalian telah membunuh kami untuk yang kedua kalinya..." ujar Wibagso lirih. Ucapan itu terus bergema, hingga mall itu selesai dibangun, dan diresmikan Kepala Kotapraja, Drs Gingsir. Hingga kini, suara-suara itu terus mengalun. Tapi hanya telinga setajam kesunyian yang mampu mendengar gugatan itu.*Jogja, awal Juli 2002 (Terima kasih untuk Joko DH dan Menthol Hartoyo)

Cerpen: Indra Tranggono 

 Sumber: Kompas, Edisi 09/15/2002 









DI rumah pemasyarakatan itu sempat timbul ribut-ribut kecil ketika Marsiyam melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan, menurut penilaian teman-teman di situ, sangat tampan. Sebelumnya tidak ada seorang pun yang menyadari bahwa ada perempuan bunting di situ. Dan mungkin tidak ada yang benar-benar yakin bahwa Marsiyam memang bunting sebelum melahirkan. Berbagai jenis pikiran baik dan buruk beredar di bangunan yang berdasarkan perhitungan akal sehat sudah tidak bisa menampung pesakitan lagi itu. Tidak ada seorang laki-laki pun di situ, kecuali kepala penjara. Tapi, apa ada alasan untuk mencurigainya sebagai bapak bayi itu? Rasanya tidak. Tampang lelaki yang tak pernah tersenyum itu jauh dari selera perempuan mana pun. "Tampangnya nyebelin," kata mereka. Dan tampang bayi laki-laki itu minta ampun cantiknya.

   
M>small 2small 0< dikenai hukuman dua tahun penjara sebab dituduh telah menganiaya suaminya, seorang lelaki yang bekerja sebagai guru, yang-menurut sementara tetangga-"sudah sepantasnya dianiaya," entah sebab apa. Mereka kawin sekitar tiga tahun dan belum dikaruniai anak. Guru itu selalu menyalahkannya dan malah sering menuduhnya telah berbuat serong dengan laki-laki lain. Marsiyam mula-mula menerima tuduhan itu dengan tenang, bahkan dia yakin kecemburuan suaminya itu muncul justru karena lelaki itu sangat mencintainya. Ia sadar dirinya cantik, dan tentunya ada alasan juga bagi suaminya untuk memelihara rasa curiganya.
   

Sampai pada suatu sore ketika ia sedang memasak untuk makan malam, ketika suaminya mendekatinya dan mendesakkan pertanyaan-pertanyaan yang menyakitkan, yang menuduhnya telah berselingkuh dengan seorang pemuda pengangguran yang suka membantu keluarga itu membetulkan atap bocor atau kabel listrik yang korslet. Anak muda itu memang lumayan tampangnya, dan sering berada di rumahnya ketika guru itu sedang mengajar. Marsiyam meladeni rentetan pertanyaan suaminya dengan sabar, tetapi semakin lama lelaki yang pendapatannya tak cukup untuk hidup layak itu menunjukkan tampang yang semakin menyebalkan. Marsiyam menyekam kesabarannya, dan mendadak bagaikan api kemarahannya berkobar. Ia ambil barang sekenanya di dapur itu, dipukulkannya ke kepala suaminya yang langsung terkapar di lantai. Diinjaknya tubuh yang tengkurap itu berkali-kali sambil menjerit-jerit, "Aku memang tak bisa punya anak, mau apa kau. Aku memang gabuk, mau apa kau." Tetangga pun berdatangan dan beberapa bulan kemudian ia harus duduk di kursi terdakwa untuk mendengarkan keputusan hakim. Suaminya telah melaporkannya ke polisi sehabis peristiwa di dapur itu.

   
TENTU saja penjara bukanlah tempat yang diidam-idamkannya, tetapi di luar dugaan Marsiyam dengan cepat bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat yang aneh hubungan-hubungan antarmanusianya itu. Seperti kampung saja, di situ ada ibu muda yang konon menganiaya madunya, ada tukang copet yang suka beroperasi di ka-er-el, ada organisator berbagai arisan yang menggelapkan uang puluhan juta, ada dokter yang kerja sambilannya menjual narkoba, ada pengacara yang ketahuan menyogok jaksa, dan ratusan perempuan lain yang entah profesinya. Marsiyam yang pendiam dan tidak banyak cingcong itu diterima di kalangan mereka, bahkan oleh grup-grup yang biasanya bermusuhan. Tidak ada yang mau percaya bahwa perempuan semacam itu telah tega memukuli dan menginjak-injak suaminya, guru yang konon juga dikenal tidak banyak ulah.

Marsiyam tidak tahu alasan apa yang menyebabkan perempuan-perempuan itu lebih suka memanggilnya Marsinah atau Mariyam. Menurut mereka, nama Marsiyam susah diingat-suatu alasan yang menurutnya pasti sekenanya saja. Dan selama ia di sana tidak pernah ada orang yang menengoknya. Ia hanya menggelengkan kepala atau menunduk kalau ditanya, "Kau tak ada keluarga, ya?" Atau, "Kau sudah dibuang keluargamu, ya?" Ia menjalankan tugas rutinnya dengan tekun, tidak pernah membantah sipir yang mana pun, yang beberapa di antaranya dianggap ganas oleh rekan-rekannya.

Sampai malam itu, ketika ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat tampan. Tidak ada yang bisa yakin bahwa perempuan muda itu pernah bunting. Tak pernah ngidam, tak pernah muntah-muntah. Perutnya rata saja. Tapi tiba-tiba saja ada bayi keluar dari rahimnya. Tak ada seorang pun di sana yang percaya pada mukjizat; mana ada orang jahat percaya akan hal semacam itu? Tetapi pertanyaan yang beredar tetap sama, siapa gerangan yang telah membuntinginya kalau bukan kepala penjara, satu-satunya lelaki di bangunan itu yang boleh berhubungan dengan mereka? Tapi mereka tak percaya juga akan hal itu. Sipir-sipir perempuan yang ganas itu pasti mengetahui perselingkuhan semacam itu dan akan menggunduli lelaki yang rambutnya tinggal beberapa lembar itu-tidak peduli ia atasan mereka atau bukan.

Marsiyam diberi kesempatan mendapatkan kamar khusus untuk mendampingi bayinya sebab toh beberapa hari lagi masa hukumannya akan habis. Tanpa dirasa, sudah dua tahun ia berada di dalam bangunan itu, tanpa sama sekali pernah berhubungan dengan dunia luar. Dokter penjual narkoba itu dengan bangga membantunya, juga tukang copet dan dedengkot arisan. Mereka merasa mendapatkan kebahagiaan dengan membantu ibu muda itu.

Sore itu akhirnya tiba juga. Marsiyam harus meninggalkan rumah pemasyarakatan karena masa hukumannya sudah habis, meskipun ia tak merasa sudah dimasyarakatkan. Ia gendong bayinya sambil menenteng barang bawaannya.

 "Kau pulang ke mana Marsinah?" tanya si gembong arisan.


 "Entahlah."

  

 "Kapan-kapan nanti aku boleh menjengukmu, Mariyam? Kalau aku keluar nanti, tentu bayimu sudah besar, sudah sekolah," kata dokter yang harus meringkuk di bangunan itu bertahun-tahun lagi.

  

 Marsiyam hanya tersenyum. Tidak memedulikan penyebutan namanya yang selalu keliru itu. Ditatapnya bayi yang digendongnya dan untuk pertama kalinya ia menyadari bahwa wajahnya mirip lelaki muda yang dulu suka membetulkan atap bocor dan kabel listrik yang korslet di rumahnya. Perempuan itu menyimpan saja perasaannya, yang ia sendiri tidak tahu apa. Selama dalam masa hukuman, ia memang pernah beberapa kali bermimpi bertemu lelaki muda itu, yang katanya menjenguknya untuk meminta maaf lantaran telah menyebabkannya masuk penjara. Ia selalu merasa bahagia setiap kali pemuda itu muncul dalam mimpinya. Sejak semula ia tahu bahwa sebenarnya suaminyalah yang mandul, tetapi ia tidak pernah mengatakan itu karena pasti akan menyinggung perasaan dan menyebabkan guru itu semakin tidak masuk akal tuduhan dan tindakannya.

  

 Ia menoleh untuk terakhir kalinya kepada rekan-rekannya ketika diiringkan oleh beberapa sipir keluar dari bangunan itu.

  

 "KAU mau pulang ke mana, Marsiyam?" tanya salah seorang sipir. Ia kaget mendengar namanya disebut dengan benar untuk pertama kali sejak dua tahun yang lalu.

  

 "Pulang."

  

 "Ke mana?"

  

 "Ke rumah."

  

 "Rumah siapa?"

  


 "Rumah suamiku. Ia pasti senang aku bisa mendapatkan anak. Ini anaknya. Aku yakin ia akan menerima kami. Ini anaknya." ***

Cerpen: Sapardi Djoko Damono 
 Sumber: Kompas, Edisi 03/30/2003